Memburu Jaeni
CultureJakarta - Kami berlarian mencari sepeda ke rumah masing-masing. Kami tidak sempat menjawab anak-istri kami yang bertanya setengah berteriak, "Mau ke mana, Pak?" Kami lompat ke sadel, menggenjot pedal yang sebagian utuh dan sebagian telah lepas sehingga sepeda itu seakan melompat ke udara serasa seekor kuda pacuan.
Di jalan Dukuh Dawuan ke arah selatan sepeda kami berhamburan. Petang yang mulai turun tidak menghambat kami untuk memacu sepeda kami menuju Kali Brantas. Sepeda kami bersilangan sebelum menemui jalan besar. Roda-roda sepeda melesak ke dalam jalanan berdebu. Kami tidak peduli jalanan berdebu dan lengket di wajah kami. Kemarau sedang di puncak musimnya sehingga jikalau siang hari di jalan kami berhamburan terlihat debu mengepul.
"Segera kita ke tambangan Kali Brantas! Sebelum Jaeni lenyap digondol setan!" teriak Kang Muji di tikungan Kali Apak. Tangan kanannya bergerak-gerak pertanda kami harus segera tiba. Sepedanya besar, lengkap dengan lampu dan pembonceng. Waktu Kang Muji menggenjot pedalnya, lampu itu menyala. Listriknya berasal dari dinamo kecil yang kepalanya beradu dengan karet ban depan.
Di jalanan berdebu membujur ke selatan rupa kami timbul karam dalam laju bersepeda. Tubuh-tubuh kami tampak mulai terliputi gelap. Yang berpakaian warna putih terlihat menonjol. Yang berpakaian agak gelap apalagi hitam, hanya terlihat gerombolan hitam bergerak-gerak. Tak ubahnya orang-orangan yang berdiri di tengah sawah sepanjang kami memacu sepeda.
Kami pacu sepeda di tengah persawahan yang gelap. Udara dipenuhi serangga-serangga kecil yang hidup di tanaman padi. Belalang kecil-kecil dan jentik sering masuk ke hidung kami. Kami tidak peduli. Dalam bayangan kami Jaeni harus kami temukan dan bawa pulang sebelum setan itu membawa ke alam gaib.
Kami tidak bicara satu sama lain. Kami sibuk dengan pedal-pedal sepeda kami dan pikiran kami sendiri. Udara masbodoh turun di waktu malam ekspresi dominan kemarau tidak terasa oleh kami. Napas kami naik turun dengan cepat seirama dengan kecepatan kaki-kaki kami.
Pada tikungan pertama sesudah melintasi persawahan yang luas, Kang Muji mengarahkan sepedanya ke kiri. Kami segera mengikuti arah lampu sepeda Kang Muji. Ketika hingga di jalan pertama masuk Dukuh Pakel, sepeda Kang Muji belok ke kanan. Kami pun segera mengarah ke kanan. Sampai kami tiba di jalan yang lebih gelap di bawah gerumbul pepohonan besar. Lampu sepeda kang Muji membelah kegelapan jalan setapak itu.
Di jalanan menurun kami tidak sanggup berbuat apa-apa kecuali turun dari sepeda. Lampu sepeda Kang Muji redup. Kami menyalakan korek kapas. Sambil jalan beriringan di antara sepeda kami turun. Sampai kemudian kami lihat gubuk agak terang di pinggir kali. Ya, itu Kali Brantas yang terlihat dari liukan tubuh sungai. Di kanan-kiri sungai tampak gelap oleh rindangnya pepohonan.
"Ke mana larinya Jaeni?" tanya Kang Muji kepada orang di gubuk itu. Di samping gubuk terdapat bahtera penyeberangan yang ditambatkan di salah satu tiang gubuk.
"Ia lari ke arah gerumbulan di tegalan gelap itu. Temannya penakut. Tidak segera mengejar, tetapi malah berteriak-teriak minta tolong."
"Lalu?" potong Kang Muji.
"Sia-sia," jawabnya. "Saya mustahil meninggalkan bahtera ini. Bila malam sering air naik dan berbahaya bagi perahu. Saya tidak sanggup membantu. Saya suruh orang yang menemani Jaeni segera minta pertolongan ke kampung."
"Jaeni lenyap?" tanya Kang Muji menegaskan.
"Yah...." balas tukang perahu.
'"Hhhhh....Ayo segera naik ke tegalan itu. Kita cari Jaeni hingga ketemu!" perintah Kang Muji kepada kami.
Di tengah kegelapan yang menguasai pinggiran sungai itu, kami letakkan sepeda. Kami jejer dan kunci. Sepeda kami titip ke tukang perahu.
Kami segera naik ke tanah yang agak tinggi dan gelap. Tempat itu niscaya tegalan yang tidak terurus berupa pohon kelapa dan segala pohon besar lainnya. Kami meraba-raba dalam gelap. Luar biasa gelap. Kami mau temukan apa di sini? Di mana Jaeni yang hendak kami cari itu? Aneh ini.
Tapi, kami terus susuri tegalan gelap itu hingga di ujung jalan yang agak terang. Tampak rumah-rumah dengan lampu minyak di pasang di teras-teras rumah di Dukuh Pakel.
Kang Muji yang berada di depan kami, tampak ragu mau ke mana.
"Aku mau ketemu kepala dukuh dulu di ujung sana. Kalian sanggup ikut, tetapi sebagian tetap mencari Jaeni," kata Kang Muji.
Kami berpencar. Ada yang ke kiri masuk dalam jalan-jalan kecil di antara rumah-rumah. Ada yang terus ke jalan dukuh yang agak lebar di antara depan rumah. Sementara saya bersama Kang Muji menuju rumah di ujung selatan dukuh. Rumah kepala dukuh berada persis di depan hutan jati perhutani.
Sampai di rumah kepala dukuh Kang Muji berkata bahwa ia sedang mencari Jaeni yang telah hilang sore tadi. Jaeni melompat waktu naik bahtera hendak menyeberang ke dusun selatan Kali Brantas.
"Mau ke mana Jaeni itu?" tanya Pak Kepala Dukung Pakel.
"Mau pulang. Mau bertemu bapak-ibunya di Dukuh Ngeni," kata Kang Muji.
"Ya, biar saja, kenapa dicari-cari ibarat memburu maling?" tanya Pak Kepala Dukuh.
Kang Muji menjelaskan Jaeni ini bukan mau pulang ibarat biasanya. Jaeni ini sedang dalam dampak mahkluk gaib. Ia sudah dua kali melarikan diri. Pertama ia berlari kencang dari rumahnya pada selepas petang ke arah tegalan di selatan kampung Dawuan. Ia tampak ibarat dikejar-kejar seseorang. Ia berlari sangat kencang dari rumah dan melintasi persawahan luas di timur rumahnya. Ia berlari diantara parit-parit kecil yang sulit dilalui. Tetapi, Jaeni sanggup menapakinya dengan mudah. Bahkan berlari kencang di atasnya. Kami sedukuh memburu Jaeni. Tua, muda, anak-anak, perempuan, pria berhamburan keluar rumah membawa penerangan seadanya mengejar Jaeni.
Jaeni berhasil dikembalikan ke dukuh. Ia sedang duduk menggigil di bawah pohon maoni di Kali Bukur. Ia duduk di antara kerikil padas di pinggir kali. Kami gendong bergantian si Jaeni di sepanjang pematang menuju ke Dukung Dawuan kembali. Tubuhnya lemas tidak berdaya.
Keluar dari rumah kepala Dukuh Pakel kami segera keluar mencari kembali si Jaeni. Kami diiringi Pak Dukuh. Pak Dukuh keluar menuju kentongan. Ia pukul kentongan bertalu-talu sehingga bunyi itu pertanda thithir. Suara bertubi-tubi pertanda sedang ada ancaman di Dukuh Pakel. Penduduk harus segera keluar rumah untuk berjaga-jaga.
"Telah hilang saudara kita Jaeni dari Dukuh Dawuan di utara. Orangnya pendek, kulit gelap, kepala plontos mengenakan kaos merah, celana panjang hitam, sandal jepit warna hijau!" teriak Pak Kepala Dukuh Pakel di sepanjang jalan tengah dukuh. Ia berulang-ulang meneriakkannya.
"Sore tadi sebelum gelap Jaeni masuk desa ini dari tambangan dukuh kita. Ia melompat dari bahtera dan masuk ke tegalan samping tambangan. Sampai kini belum ketemu. Kalau tahu orang dengan ciri ibarat Jaeni segara laporkan!" kata Kepala Dukuh.
Orang-orang Pakel keluar dengan obor di tangan. Mereka berjalan merayap di tengah malam mengelilingi desanya. Obor-obor menciptakan dukuh yang gelap itu tiba-tiba menjadi terang benderang. Diiringi bunyi kentongan bertalu-talu menciptakan Dukuh Pakel menjadi ibarat orang yang gres saja bangun tidur. Orang-orang dengan muka cemas disertai keingintahuan yang besar tampak di raut wajahnya.
Dukuh Pakel terletak bersahabat hutan jati. Dukuh ini sangat terpencil. Tidak ada desa di sekelilingnya. Sisi timurnya berupa hutan jati amat luas. Tidak ada dukuh lagi sebelah timur itu. Di arah selatan mengalir Sungai Brantas yang damai dan besar. Sungai ini bagaikan ular naga yang siap melahap apa saja ke dalamnya. Di utaranya yaitu persawahan yang sangat luas. Sehingga orang di sisi utara hanya akan melihat garis kaki langit dan perbukitan saja ketika memandang ke arah selatan. Pohon-pohon jati itu laksana rerumputan dipandang dari Dukuh Dawuan. Sementara sisi baratnya yaitu persawahan yang maha luas, sehingga sejauh titik memandang ke barat yaitu segaris hitam. Pada sore menjelang petang, Dukuh Pakel akan ibarat noktah hitam di tengah belantara kegelapan alam.
"Coba kita lihat di sumur bata merah di tengah dukuh," kata seseorang lelaki bau tanah di antara kami. Ia mendekat ke Kang Muji.
"Sumur itu ibarat besi sembrani. Ia akan menyedot apa saja yang bersifat gaib," kata orang bau tanah itu.
Tanpa pikiran panjang saya dan Kang Muji mengikuti Pak Tua ke Sumur merah yang dimaksud. Beberapa sobat dari Dukuh Dawuan juga ikut. Lelaki bau tanah itu berjalan dengan lampu minyak di tangan kanan. Kulit wajahnya berkeriput. Matanya agak keputihan. Rambutnya dibiarkan memanjang diliputi rambut berwarna putih.
Akhirnya kami tiba di sumur merah. Mulut sumur lebih luas dari sumur biasanya. Tidak ada tali dan bejana untuk mengambil air di dalamnya. Di sisinya tampak rumput-rumput memenuhi sekeliling sumur. Dalam gelap itu Pak Tua bicara.
"Sumur ini sudah ada semenjak sebelum saya lahir dan nenek-kakekku lahir. Sumur ini dipercaya obat dari segala penyakit dan dilema yang ada di dukuh ini. Segala penyakit dan peristiwa alam sanggup disembuhkan dengan sumur ini. Aku yakin si Jaeni tetanggamu itu masuk di dalam sumur ini."
Suara Pak bau tanah itu terdengar terperinci di antara kami. Kang Muji membisu saja mendengar klarifikasi Pak Tua. Ia bangun dari diamnya dan menyampaikan akan bertemu dengan pihak keluarga mertua Jaeni.
"Orangtua Jaeni sendiri di mana?"
"Di Dukuh Ngeni."
"Oooh...."
Dukuh Ngeni yaitu dukuh paling tersembunyi dan jauh. Dukuh ini hanya sanggup dicapai dengan jalan kaki. Jalannya sempit dan terletak di kaki bukit-bukit.
Esok harinya keluarga mertua Jaeni beserta istri tiba ke sumur merah dan Pak Tua. Dari ide yang diterima Pak Tua mahkluk mistik di sumur itu minta diadakan selamatan. Selamatan diadakan pada malam Selasa Wage di samping sumur merah. Dalam selamatan itu diminta sediakan kepala kambing warna hitam kelam. Seluruh bab kambing itu harus berwarna hitam.
Selamatan itu alhasil diselenggarakan. Dengan memaksa menjual apa saja mertua Jaeni berhasil menyediakan kepala kambing hitam mulus. Pak Tua menyampaikan seminggu lagi Jaeni akan pulang sendiri ke rumah mertua di Dukuh Dawuan. Mertua Jaeni percaya apa yang dikatakan Pak Tua itu. Mertua Jaeni yakin dengan mengadakan selamatan di tepi sumur merah menantunya sanggup ditemukan.
Jaeni yaitu menantu satu-satunya. Jaeni menikah lima tahun lalu. Jaeni mengaruniakan seorang cucu berjulukan Reko. Cucu ini persis ibarat Jaeni. Badannya gempal, tetapi pendek. Kulitnya kecoklatan, rambutnya tumbuh sedikit di kepala. Perlu usang untuk panjang, padahal temannya telah dua kali pangkas rambut.
Jaeni yaitu pelita bagi sang mertua. Ketiga anaknya semua perempuan. Ada Tri, Sulami, dan Is. Anak yang sulung berjulukan Is inilah yang kawin dengan Jaeni. Kehadiran Jaeni tidak lain impian bagi si mertua. Jaeni segera menggantikan dirinya sebagai kepala keluarga. Jaeni akan menggarap semua sawah yang ia miliki. Semua binatang piaraannya akan dipelihara Jaeni. Dia akan tentram menjalani hari tua.
Jaeni orangnya tertib dalam pandangan kami. Setiap hari ke sawah. Pulang dari sawah makan siang seraya istirahat sebentar. Usai lohor balik ke sawah dan pulang menjelang senja tiba dengan membawa satu karung besar berisi rumput untuk sapi. Rumput itu niscaya rumput yang terbaik dan telah dicuci higienis di Kali Ewuh sebelumnya. Malamnya tidak pernah nongkrong di perempatan jalan kawasan kami ngomong ngalor-ngidul hingga dini hari. Kadang kami tidak ke sawah lantaran kesiangan. Garapan sawah kami menjadi kacau. Air membludak melewati pematang sawah. Atau, sawah kekeringan berhari-hari lantaran tidak ada yang ke sawah. Kami sedukuh orang yang sering ngobrol yang tidak penting, tetapi sanggup menciptakan kami tertawa-tawa. Hidup kami melarat. Kadang kami makan sehari, kadang besoknya tidak. Pakaian kami compang camping tak beda dengan pengemis. Dinding-dinding rumah kami terdiri dari anyaman bambu peninggalan kakek-nenek kami. Kami tidur di atas tumpukan kayu dan jerami.
Kehadiran Jaeni menciptakan kami berubah. Kami mulai pergi ke sawah dengan rajin. Mengurangi pergi ke tetangga untuk bicara-bicara yang tidak perlu. Semua itu kami tiru dari Jaeni. Meskipun ia berasal dari Dukuh Ngeni yang terpencil dan teramat miskin, Jaeni orang pilihan di mata kami.
Untuk itu, kami harus menemukan Jaeni. Jaeni telah bersama kami lima tahun dan memberi contoh baik yang sulit kami temukan di warga Dukuh Dawuan. Kami harus temukan Jaeni. Jaeni harus menjadi milik kami. Kami tidak keberatan berlari-lari mengejar Jaeni. Menggenjot sepeda malam-malam buta. Berjalan di kegelapan yang menyiksa untuk memperoleh Jaeni kembali.
"Mustahil Jaeni kembali. Mustahil!" kata Rohkono menohok kepadaku di rumahnya pada sebuta pagi yang dingin. Matanya tajam menyorot ke mataku.
"Kau boleh percaya omonganku. Aku orang yang paling bersahabat dengan simbok-mu. Semenjak kecil saya tahu keluarga mbok-mu. Begitu juga keluarga mbok-mu, Mbah Jolah, sangat tahu keluargaku. Jadi, kamu boleh percaya omonganku."
Mbah Rohkono nyaris tak berkedip. Aku alihkan tatapanku lantaran tak besar lengan berkuasa dipandangi dengan tajam.
"Terus bagaimana Mbah?" kataku.
"Jaeni hilang, selamanya. Semenjak anaknya usia tiga tahun, Jaeni sudah diincar oleh tiga setan dari Gunung Emas. Pikiran Jaeni kosong semenjak dikala itu. Pikiran kosong sangat disenangi para setan. Mereka memboyong Jaeni ke sarangnya di Gunung Emas."
Aku tidak berkata-kata lagi. Diam terkesima mendengar penuturan Mbah Rohkono. Rokok klobot jagung yang digulung dibakar Mbah Rohkono. Baunya tajam memenuhi ruang tengah.
"Kau ini terlambat tiba ke sini. Sebenarnya pada kehilangan pertama, segera kamu ke sini. Masih sanggup saya selamatkan Jaeni. Aku pagari dengan gaibku. Para setan itu niscaya tidak akan menggondol Jaeni," bunyi Mbah Rohkono membelah kesunyian.
"Tetapi, kini segalanya sudah terlambat. Aku sudah tidak sanggup mengembalikan Jaeni hidup atau mati. Ia sudah berada di sarang para setan penunggu Gunung Emas."
Aku simak bunyi Mbah Rohkono dengan khidmat. Suaranya menyelinap dalam sanubariku yang paling dalam. Suara itu seakan mengalir bersama darah di sekujur tubuhku.
Mbah Rohkono tiba-tiba berdiri di hadapanku. Mengibaskan kemeja hitamnya. Aku mendongak untuk melihatnya.
"Dan ingat, tidak ada dukun mana pun yang sanggup mengembalikan Jaeni ini. Kau cari dukun di seantero Pulau Jawa tidak ada yang akan bisa. Kau dengar ya. Aku bersumpah minum air kencingnya bila ada dukun yang sanggup." Suara Mbah Rohkono tinggi meyakinkan. Seakan ada keraguan mengenai pernyataan yang ia buat bila suaranya datar.
Aku mengangguk. Aku tidak menjawab apa pun hingga kemudian Mbah Rohkono bangun dari duduknya kemudian berjalan ke pintu samping. Aku terdiam di ruang tengah. Aku disuruh orang dukuh untuk ke Mbah Rohkono untuk mencari bantuan. Aku dipercayakan oleh mertua Jaeni untuk menemui Mbah Rohkono. Aku berangkat berbekal salam dari mbok-ku. Tanpa salam itu mustahil saya pribadi diterima di kamar tengah Mbah Rohkono.
Tapi, apa yang akan kusampaikan di depan mertua Jaeni? Jaeni hilang digondol tiga setan ke Gunung Emas, begitu? Apa tidak akan pingsan dan digotong ke balai-balai apabila kutambahi Jaeni tidak akan sanggup dibawa pulang alasannya ia telah menjadi keraknya Gunung Emas?
Ucapan Mbah Rohkono saya simpan dalam hatiku sendiri. Tidak seorang pun kuberitahu. Aku yang merupakan keluarga jauh mertua Jaeni, tidak lagi semangat mencari Jaeni. Aku biarkan orang-orang berbulan-bulan lamanya tanpa kendur mencari keberadaan Jaeni. Aku peduli dengan Jaeni dengan cara kembali ke sawah dengan rajin. Mengairi sawah, menangkap tikus-tikus yang berkeliaran memakan tanaman apa saja di sawah, mencabuti rumput, memupuk, dan mengusir burung-burung ketika padi mulai menguning.
Orang-orang Dukuh Dawuan terus mencari tanpa peduli rumah tangga. Bertahun-tahun kemudian para wanita Dukuh Dawuan pergi ke pinggiran kota-kota menjadi buruh pabrik sepatu, termasuk istri Jaeni, Is, bersama anaknya. Mereka tinggalkan anak dan suaminya yang masih mencari Jaeni. Dukuh Dawuan menjelma semak belukar dan rumah-rumah tak ubahnya gugusan gubuk-gubuk.
Aku masih di sana di Dukuh Dawuan. Mengairi sawah hingga kemudian memanen padi. Menimbunnya di kamar khusus padi untuk persediaan bulan-bulan paceklik di masa mendatang yang sering menerpa Dukuh Dawuan. Saat itu saya menjadi teringat Jaeni.
Karawang, Agustus 2018
Catatan:
Tambangan: jasa penyeberangan sungai dengan memakai bahtera yang banyak ditemui di Sungai Brantas, khususnya sebelum banyak dibangun jembatan. Perahunya terikat pada tali/tambang kawasan roda yang bertali menghubungkan dengan ujung perahu. Perahu tinggal dikayuh dengan dayung berupa galah atau ditarik dengan tali lain yang menghubungkan tiang di kedua sisi sungai.
Imam Muhtarom buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan (Grasindo, 2007), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Rebecca Fanany dari Deakin University Australia untuk agenda Frankfurt Book Fair 2015 berjudul The House that Looked Blue in the Moonlight. Peneliti etika tradisi di pesisir pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016-2018), kini aktif di Asosiasi Tradisi Lisan, kurator pada Borobudur Writer and Cultural Festival, dan dosen.
Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diubahsuaikan dengan abjad detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com