Jakarta - Mengapa kita membenci babi? Satu pertanyaan kau utarakan sambil membuka jendela. Matamu menatap ke luar sana. Petang. Hujan pelan. Kau niscaya sedang mengingat kejadian kemarin dan kejadian-kejadian sebelumnya. Orang-orang membunuh babi. Mereka menusuknya dengan tombak atau benda tajam lain hingga koyak. Sampai binatang itu mengerang, dari mulutnya muncul bunyi yang amat memilukan. Lalu, pertanyaanmu, haruskah saya menjawabnya?
Aku di belakangmu, duduk di bangku tua, mungkin seumuran penjajahan Belanda, membaca buku. Di atasku lampu ukuran mini dengan cahaya yang tak terlalu terang, tapi cukup menciptakan huruf-huruf di buku ini kelihatan dan cukup membuatku sanggup melihat dengan terang punggungmu.
Aku memandangi punggungmu dan kau tentu saja, dengan pertanyaan itu, tak perlu mengalihkan tatapan dari hujan.
Ya, mestinya kita tak perlu membencinya, kataku. Aku menutup buku dan belakang layar mengingat sesuatu hal yang berkaitan dengan pertanyaanmu itu.
Aku kecil hidup di kampung terpencil. Kampung berdempetan hutan yang masih membiarkan babi-babi hidup makmur dan berkeliaran. Kampung yang entah kenapa, di sana, di paling ujung, terbangun sebuah surau. Surau yang menyediakan kentongan dan bedug. Surau yang selalu memberi petuah-petuah lewat lisan orang tua, berjenggot putih, berambut putih, dan berpeci putih. Dari lisan itulah, saya sering mendengar alasan kenapa kita harus membenci babi.
Kalau sore datang (seperti waktu ketika ini), saya siap-siap mengambil sarung dan peci yang saya sendiri tidak pernah mempertanyakan kenapa peci itu lusuh dan kusam sekali. Tak ada yang kukerjakan selain itu. Sebab di rumah, selalu membosankan, melihat pertengkaran antara ibu dan bapakku. Sepanjang perjalanan ke daerah mengaji, saya sering melihat kira-kira lebih sepuluh ekor babi. Jinak atau tidak jinak. Babi-babi itu ada yang milik orang dan ada yang milik jalanan.
Tak ada yang kutakutkan dari babi-babi itu, alasannya yakni mereka tidak mengganggu. Bahkan saya pernah menyentuhnya. Babi-babi itu lucu. Apalagi yang masih kecil. Tetapi, sejak ngaji di surau, saya dibentuk bingung. Kenapa babi dihentikan disentuh, apalagi dimakan. Padahal, kata teman-temanku, daging babi sama saja dengan daging sapi. Sama-sama yummy dimakan.
Aku mengulang perkataan kepadamu, ya, mestinya kita tidak perlu membenci babi.
Babi tidak pernah berdosa. Tetapi kenapa mereka berbondong-bondong memburunya, membunuhnya? Kau menghadapku. Memunggungi jendela. Jendela yang masih memperlihatkan keadaan bahwa di luar hujan turun pelan-pelan.
Menurutmu, kenapa? balasku balik bertanya.
Orang-orang itu memandang babi dengan sebelah mata. Agama mereka memang melarang menyentuh dan memakan babi, tetapi tidak menyuruh untuk membunuhnya. Babi sama halnya dengan binatang lain. Sama menyerupai kita juga. Butuh hidup nyaman. Butuh ketentraman. Aku tak pernah membayangkan, betapa mengerikannya hidup di tengah-tengah ancaman. Kau semakin serius.
Dulu saya pernah membenci babi. Tapi, tak pernah memburu, apalagi membunuhnya.
Ya. Aku pernah membenci babi, namun tak pernah membunuhnya. Waktu itu, waktu semasih mengaji dan sudah tahu jikalau babi najis berdasarkan agamaku, seekor babi kecil masuk ke halaman rumahku dan menginjak-injak bunga di sana. Dengan sengaja saya melempar watu dan ternyata sempurna mengenai kepalanya. Hewan itu sempoyongan dan alhasil ambruk. Aku merasa kasihan ketika mendekatinya dan melihat matanya terpejam, napasnya terengah-engah. Kubopong ia ke dalam rumah, kubiarkan tubuhnya tergeletak di tanah.
Pipiku tiba-tiba berair ketika memandangi matanya yang terpejam mengeluarkan air mata. Betapa menyakitkan menjadi babi ini, pikirku. Sampai usang saya menunggu alhasil babi itu bangun, meski dengan sempoyongan, ia keluar rumah kemudian entah menuju ke mana lagi. Semenjak itu saya berjanji, tak ada yang mesti dibenci dari babi.
Akhir-akhir ini banyak orang memburu babi. Mereka membunuhnya dengan sadis. Dan benar dugaanku, kau mengingat hari-hari itu. Di bersahabat sungai belakang rumah kita, orang-orang membunuh babi. Di samping bendungan, orang-orang membunuh babi. Dan di mana pun berada, babi-babi akan diburu dan dibunuh. Di jalan-jalan sempit atau di semak-semak. Hingga kini, di sini jarang sekali ditemui babi.
Kata mereka, kini banyak babi ngepet. Babi ngepet mencuri harta orang. Tetapi, buktinya ketika babi itu dibunuh, matinya tetap berbentuk babi. Apakah mereka tidak ingat jikalau di kampung ini memang mulanya banyak babi? Akhirnya, kau bercerita bahwa kampungmu ini, memang sudah terbiasa dengan babi. Sama menyerupai di kampungku dulu. Aku masih ingat ketika kita menikah, babi-babi berkeliaran dan orang-orang membiarkan. Aku masih ingat ketika masih menjadi pengantin gres di sini, di rumahmu. Babi-babi berkeliaran, dan orang-orang membiarkan begitu saja. Toh, mereka tidak mengganggu siapa-siapa.
Mungkin mereka termakan tayangan film babi ngepet di televisi. Kataku santai. Sejenak, saya berdiri dan mendekatimu. Di luar, hujan sudah reda. Dan di jendela ini, saya ingin kau tak perlu memikirkan hal-hal yang aneh. Mending kita bercinta.
Apa kau percaya, di sini ada babi ngepet?
Tidak, Sayang. Tidak. Orang-orang memang sentimentil. Aku merengkuh tubuhmu. Kau membiarkan tanganku memeluk pinggangmu. Tapi saya percaya, jikalau cinta akan menciptakan kita senang selamanya meski hidup dalam rumah yang sederhana ini.
Ih, gombal. Kau mencubit hidungku.
Di tengah-tengah itu, kau menyampaikan teringat sesuatu. Kau ada kesepakatan dengan Bu Sayu, si penjual tempe gembus. Ketika itu, saya juga teringat sesuatu. Nanti malam yakni bagianku menjaga kampung di pos ronda bersama Ngalimin, Tejo, Wardiman.
Akhirnya, sebelum kita sama-sama pergi dari rumah ini, kau mendapatkan ajakanku bercinta. Di dalam kamar yang sederhana. Di atas kasur yang mulai kusam. Tetapi, kebahagiaan akan tetap menjadi kebahagiaan. Tanpa pandang waktu dan lingkungan.
***
Hati-hati ya, kataku ketika kau pamit ke rumah Bu Sayu. Ya, begitulah kau menjalani hidup denganku. Kau kini ikut membantu Bu Sayu menciptakan tempe di malam hari, dan paginya gres dijual ke pasar. Hasilnya dibagi dua. Semua itu untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku cuma petani pemilik sawah sepetak yang menunggu panen dengan tabah. Dan ketika panen gagal, saya hanya sanggup pasrah.
Kau juga. Awas, jangan hingga ikut-ikutan membunuh babi. Dosa besar. Katamu mengancam. Tetapi dengan wajah yang tetap lucu dan menggemaskan.
Mendengar perkataan ihwal babi, impulsif saya mengatakan, eh, atau mau saya antar?
Kau menggeleng. Tidak perlu. Tak ada babi yang mengganggu.
Ketika kau pergi dan menutup pintu, saya kembali resah menyerupai malam-malam biasanya. Semua harga-harga naik. Mulai dari materi makanan, pupuk, dan barang-barang lainnya. Ekonomi makin sulit. Aku mondar-mandir di dalam rumah. Memikirkan pekerjaan yang menghasilkan uang. Tidak semestinya kau yang bekerja menyerupai itu. Sebagai lelaki, terang saya yang malu.
Aku melihat jam, masih pukul tujuh. Jam delapan yakni waktunya berangkat ke pos ronda. Sambil menunggu, saya membaca buku. Sebagai sarjana, tentu hal itu tidak perlu dibahas. Membaca buku yakni kewajiban sehari-hari meski toh pekerjaanku kini ini bertani. Kulihat kembali jam, ternyata waktu terasa lebih lambat dari biasanya. Sampai pada suatu waktu yang mungkin telah ditentukan, mataku ngantuk sengantuk-ngantuknya. Tak sanggup kutahan. Tidur menjadi pilihan.
Aku terjaga jam satu dini hari lantaran kaget mendengar teriakan orang-orang. Jelas, saya mulai menebak, orang-orang itu membunuh babi lagi, menyerupai malam-malam biasanya. Entah kenapa, saya menjadi geram. Apalagi saya masih ingat betul klarifikasi istriku. Babi juga makhluk yang perlu rasa aman.
Terpaksa saya keluar rumah, lantaran keramaian itu semakin menjadi-jadi. Ketika membuka pintu dan melihat sekeliling, kutemukan kerumunan orang di bawah rimbun pohon bambu yang tidak jauh dari rumahku. Dengan keadaan masih ngantuk, saya berusaha ikut nimbrung.
Benar dugaanku. Seekor babi mati mengenaskan. Kenapa kalian membunuh babi? Tanyaku dalam hati. Seperti bertanya pada diri sendiri.
Lalu, sesuatu terjadi di luar kebijaksanaan pikiranku. Babi itu berkembang menjadi manusia. Dan, saya tak sanggup berkata apa-apa ketika melihat insan itu berkembang menjadi dirimu. Darah mengucur dari kepalamu. Orang-orang bergantian menatapmu dan kemudian menatapku. Dengan mata yang tajam, mereka menyerupai ingin menombakku. Di keadaan menyerupai itu, masih terngiang pertanyaanmu, mengapa kita membenci babi?
Daruz Armedian lahir di Tuban. Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Pernah memenangi lomba cerpen tingkat berakal balig cukup akal yang dilaksanakan Balai Bahasa DIY tahun 2016
Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diadaptasi dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Mengapa Kita Membenci Babi?
4/
5
Oleh
Siao Che